EXHIBITION DETAILS
Date : 20 Nov - 19 Dec 2021
Venue : Yun Artified Community Art Center
Address : Jl. Katamaran Permai 3 No.35, Kapuk Muara, Kec. Penjaringan, Kota Jakarta Utara, DKI Jakarta, 14460, Indonesia.
Visit by RSVP (Free)
YUN ARTIFIED
SPECIAL EXHIBITION OF YINCE DJUWIDJA AND ZHENG LU
Salah satu wacana dari sejumlah wacana yang menjamur sesudah perkembangan seni rupa kontemporer, adalah wacana artification yaitu upaya melihat berbagai produk/barang yang dianggap bukan karya seni, sebagai karya seni. Wacana ini relatif belum meluas. Dimunculkan mula-mula oleh art theorist Finlandia Ossi Naukkarinen seklitar lima tahun lalu. Sekarang masih berada pada tingkat mediasi di jurnal-jurnal estetik kontemporer.
Seperti wacana seni rupa kontemporer yang lain, artification menyangkal pemahaman normatif tentang seni rupa yang sampai sekarang masih punya pengaruh. Penyangkalan seni rupa kotemporer menjurus ke eksplorasi media baru (new media), sementara artification menjelajahi obyek-obyek yang sudah dikenal di wilayah disain, craft, grafiti, tattoo dan berbagai gejala visual culture yang secara normatif dianggap bukan karya seni rupa.
Artification memunculkan kembali persoalan lama yang tidak sesungguhnya pernah sampai pada sesuatu kesimpulan, yaitu perbedaan seni rupa modern (yang berpangkal pada tradisi fine art) dengan praktek seni rupa pada tradisi-tradisi etnik yang tidak bisa dikategorikan seni. Pameran ini, yang menampilkan lukisan-lukian Yince Djuwidja, menanggapi terbukanya kembali persoalan ini dan menyodorkan pemahaman baru. “Artified,” pada tajuk pameran ini berkaitan dengan pengertian “artification.”
Ketika mengenal Yince Djuwidja beberapa tahun lalu pengetahuan saya tentangnya terbatas pada pelukis yang baru sekitar lima tahun melukis. Namun ketika mengamati lukisan-lukisannya lebih lanjut saya menemukan gejala tidak biasa. Sejak mula lukisan-lukisannya sudah bagus dan sama sekali tidak bisa dilihat sebagai lukisan-lukisan seorang pemula.
Salah satu lukisannya yang paling awal, copy lukisan tua yang menampilkan sebuah perahu yang terdampar di sebuah dermaga. Ia menemukan lukisan tua ini di sebuah toko barang antik dan tertarik untuk membuat copy-nya untuk belajar melukis. Dari copy yang dibuat Yince, saya segara bisa menangkap tanda-tanda pada lukisan aslinya. Seluruh penampilan visualnya menunjukkan kecederungan lukisan pemandangan alam barbizon naturalism yang berkembang di Inggris pada pertengahan Abad ke-19—lukisan-lukisan ini memamg tercatat menyebar juga ke daerah-daerah koloni. Kendati tidak mempelajari sejarah seni rupa dan teori tentang kecenderungan ini, Yince bisa merekam dengan cermat tanda-tanda visual naturalisme barbizon. Saya segera merasakan ia punya kepekaan dalam menangkap organisasi visual pada kecenderungan ini yang membawa simbol-simbol spiritual.
Saya kembali takjub melihat perkembangan lukisan itu yaitu sejumlah lukisan pemandangan alam yang memperlihatkan tanda-tanda lukisan impresionisme. Lukisan-lukisan ini terbentuk dari himpunan garis vertikal kecil-kecil yang ditarik dari atas ke bawah. Cahaya, warna dan suasana terbentuk dari struktur garis-garis vertikal ini. Yince kembali tidak mempelajari sejarah seni rupa walau saya yakin ia pernah melihat lukisan-lukisan impresionis di berbagai museum di Eropa. Melalui kepekaan, Yince kembali bisa merasakan pemikiran kaum impresionis yang tercermin pada tanda-tanda visual lukisan-lukisan mereka.
Keyataan itu mengherankan karena impresionisme memang berkembang dari naturalisme barbizon. Gambaran realistik tekstural—bersama warna kecokelatan—pada naturalisme barbizon muncul sebagai upaya membangun suasana muram (terutama dalam melukiskan suasana musim dingin) untuk mengungkapkan ketakutan pada kesengsaraan pada kaum miskin di Eropa menghadapi musim dingin. Gejala artistik ini (realistik tekstural) punya konteks, dan, menampilkan gejala simbolik yang spiritual (meluasnya melankolia di kalangan bawah).
Pada impresionisme gejala artistik itu membangun persepsi yang sama sekali berbeda. Lukisan realistik yang tekstural dan kasar membangkitkan kesadaran tentang gejala artistik (visual). Terlihat sebagai partikel-pertikel warna pada lukisan. Partikel-partikel warna ini tidak terlihat pada lukisan realistik yang mengenal pencampuran warna yang cermat (ketepatan fotografis) dalam upaya menampilkan kenyataan.
Dipengaruhi penemuan baru pada ilmu fisika tentang hubungan warna dengan spektrum warna akibat pembiasan cahaya natural “putih,” kesadaran tentang partikel-partikel warna ini membangun pandangan/keyakinan tentang obyektivitas gejala artistik visual—khususnya warna—yang diyakini membawa kebenaran universal yang scientific.
Bagian paling mendasar pada perubahan itu adalah, impresionisme meninggalkan konteks, narasi dan dunia simbol, bahkan kecenderungan membangun representasi dalam upaya memahami realitas yang utama pada naturalisme barbizon. Dalam sejarah seni rupa perkembamgan ini menunjukkan turning point perkembangan seni rupa ke era seni rupa modern Abad ke-20 yang dikenal mengutamakan formalisme scientific.
Perkembangan itu berakhir pada abstrak ekspresionisme bersama munculnya late modern dan seni rupa kontemporer pada dekade 1970. Terjadi kembali perubahan radikal. Seni rupa kontemporer yang menentang seluruh pemikiran seni rupa modern (termasuk tradisi fine art) kembali ke konteks, representasi, dunia simbol-simbol dan narasi.
Tentunya saya tidak membiarkan kenyataan tidak lazim pada lukisan-lukisan Yince itu dan segera didesak rasa ingin tahu mengapa gajala ini terjadi. Dari observasi saya temukan Yince ternyata bukan pemula. Ia sudah melukis sejak lama walau bukan membuat lukisan dengan cat minyak di atas kanvas. Lukisan-luisannya adalah lukisan tradisional Tiongkok dan kaligrafi Tiongkok. Kesimpulan yang segera tampil pada saya, ia menggunakan kepekaan yang sudah berkembang ketika membuat lukisan dan kaligrafi Tiongkok untuk membuat lukisan-lukisan dalam bingkai Barat. Kesimpulan ini muncul karena ia berhasil.
Yince sudah mengenal kaligrafi dan seni lukis tradisional Tiongkok sejak kecil karena ayahnya guru kaligrafi dan seni lukis tradisional Tiongkok yang membuat juga karya-karya kaligrafi dan lukisan tradisional Tiongkok. Kendati tidak belajar formal Yince sudah mempelajari kaligrafi dan seni lukis Tiongkok sejak kecil, dan mengenal seluk beluknya, bagaimana membuat warna, bagaimana menggunakan kuas untuk membuat lukisan atau kaligrafi di atas kertas tipis, dan, bagaiman merekat kertas hasil lukisan ini pada kertas khusus (lebih tebal) untuk sampai ke sebuah lukisan jadi.
Sekitar 10 tahun lalu ia mempelajari secara formal kaligarfi dan seni lukis tradisional Tiongkok ketika melanjutkan studi di Taiwan—bukan di bidang seni rupa. Ia berguru pada seorang seniman kaligrafi Taiwan terkemuka. Sejak itu Yince membuat secara tetap kaligrafi dan lukisan Tiongkok. Ketika kembali ke Indonesia kebiasaan ini menerus tidak sekadar sebagai hobi atau kerja sampingan walau kerja melukis ini dilakukannya di tengah kegiatan utamanya sebagai pengusaha.
Mengetahui latar belakang itu saya minta Yince memperlihatkan semua lukisan tradisional Tiongkok dan kaligrafi yang dibuatnya selama sepuluh tahun—disimpan dengan cermat sebagai dokumentasi. Pada karya-karya ini saya menemukan pesona artistik yang dekat dengan pesona artistik pada lukisan-lukisannya yang impresionistik. Saya bisa mengenali pesona ini dan membedakannya lukisan-lukisannhya dengan lukisan-lukisan tradisional Tiongkok yang biasa-biasa saja—bahkan yang saya lihat di Tiongkok—yang senantiasa terancam mannerism (pengulangan otomatis).
Setelah memngkaji lebuh jauh, saya merasa ada sikap kritis pada Yince ketika mempraktekkan kaligrafi dan seni lukis Tiongkok. Ia tidak sekadar meneruskan kedua tradisi ini dengan mengikuti atauran-aturannya dan kemudian terjebak pada mannserism. Yince tertarik secara khusus pada gejala artistik (visual) pada kedua tradisi ini. Perhatian khusus ini yang membawanya ke upaya mencoba seni lukis Barat. Dalam pengamatan saya, di sini ia menggunakan kepekaan yang sudah berkembang dalam lingkup seni lukis tradisional Tiongkok untuk mengolah media ungkapan yang sama sekali baru.
Percobaan itu berhasil dan menjadi fenomenal karena memunculkan pertanyaan apakah kenyataan ini menunjukkan kesamaan gejala artistik pada dua seni lukis yang berbeda ? Apakah kenyataan ini membenarkan padangan kaum impresionis yang percaya bahwa gejala artistik visual bersifat universal setelah dilepaskan dari konteks dan latar belakang budaya.
Percobaan Yince yang berhasil ternyata tidak menunjukkan gejala artistik visual yang bersifat universal. Pesona pada lukisan-lukisannya dalam bingkai seni lukis Tiongkok, tetap berbeda dari pesona pada lukisan-lukisan impresionistiknya. Namun kekuatan pesona ini sama karena ada kepekaan yang sama dalam pengungkapannya. Kekuatan ini yang membuat saya bisa melihat pesona artistik pada lukisan-lukisannya dalam bingkai seni lukis Tiongkok kendati saya tidak akrab dengan seni lukis ini. Kepekaan ini bisa dilihat sebagai kepekaan/kemampuan mengolah bahasa ungkapan vsual (apa pun).
Sampai sekarang gejala yang menunjukkan adanya kesamaan itu sepenuhnya overlooked dalam membandingkan seni rupa Barat dengan praktek seni rupa pada radisi-tradisi etnik. Keduanya masih diyakini berbeda dalam semua hal. Keyakinan ini lebih dikarenakan sikap prejuratif (prejudice). David Summer dalam bukunya Real Spaces: World Art History and the Rise of Western Modernism (Phaidon. NY. 2003)—disebut-sebit sebagai upaya membangun intercultural world art history—berpendapat sikap prejuratif ini harus diterobos dengan mengkaji prinsip-prinsip estetik pada berbagai tradisi etnik dan membandingkannya dengan estetik Barat.
Pedekatan David Summer itu yang saya tempuh pada upaya menggali kenyataan fenomenal pada lukisan-lukisan Yince. Pada perbincangan dengan saya, ia memyodorkan istilah “yun” yang bisa dilihat sebagai dasar estetik pada pengajaran kaligrafi Tiongkok tradisional dan tercermin pada enam ketentuan membuat kaligrafi. Mengutip berbagai catatan, ia mengemukakan pengertian yun yang terbentuk pada Dinasti Song (960-1279) adalah rasa terpesona yang menerus dan menyambung pada penulisan kaligrafi. Perasaan ini tidak boleh terputus selama pembuatan komposisi kaligrafi. Perasaaan ini berkaitan dengan makna tulisan (biasanya puisi) dan mendasari juga pembuatan tulisan (yang membedakan tampilan kaligrafi dari tampilan tulisan biasa). Rasa terpesona ini pula yang harus terasa ketika sesorang membaca sebuah karya kaligrafi. “Tanpa yun, sesuatu tulisan, tidak bisa disebut kaligrafi,” kata Yince.
Selain mendasari kaligrafi yun mendasari pula seni lukis tradisional Tiongkok. Sudah umum diketahui, lukisan tradisional Tiongkok senantiasa dilengkapi teks dalam bentuk kaligrafi. Makna dan kadar artistik keduanya tidak bisa dipisahkan. Pada seni lukis, yun bisa diraba sebagai rasa puitis yang muncul dari pesona keindahan alam yang kemudian mendesak untuk dijadikan abadi. Dalam seni lukis tampil sebagai upaya memindahkan gambaran alam yang mempesona ke lukisan.
Namun Yince menyadari tidak mudah mendefinisikan yun karena sejak kemunculannya terus menerus menampilkan berbagai pendapat yang berbeda. Pada Dinasti Ming (1368-1644) misalnya, muncul pandangan-pandangan yang diungkapkan secara simbolik, seperti yun adalah bayangan cermin, yun adalah permukaan air yang tenang, yun adalah pesona yang tidak punya warna. Muncul juga waktu itu pandangan-pandangan nihilistis yang melihat yun sebagai kekosongan.
Saya mencoba menyederhanakan persoalan yun itu sebagai tegangan (tension) di antara merasakan keindahan yang berada pada lingkup perasaan, dan, dorongan untuk mengungkapkan perasaan ini yang harus berhadapan dengan berbagai media ungkapan. Persoalan ini muncul juga pada estetik Barat dan menjadi kompleks karena pencatatan dan pengkajian karya-karya seni rupa (melalui sejarah seni rupa) yang menunjukkan keragaman ungkapan. Dari sini muncul sejumlah definitions of art yang kemudian mempengaruhi pemikiran estetik dan perkembangan seni rupa.
Yince mengemukakan kerumitan seperti itu terjadi juga pada perkembangan pemikiran tentang yun. Ia mengemukakan, kaligrafi Tiongkok mengenal sejumlah corak yang mencerminkan perkembangan dan perbedaan pandangan tentang yun yang tercermin pada perubahan-perubahan tekanan pada enam ketentuan membuat kaligrafi. Namun ia melihat juga gejala kompleks ini bisa disederhanakan menjadi tegangan di antara merasakan keindahan yang berada dalam lingkup perasaan,dan, pengungkapkannya yang harus berhadapan dengan kepekaan artistik dalam mengolah bahasa visual. Mengutip beberapa catatan Yince mengemukakan ada pandangan yang menempatkan kepekaan artistik dalam mengolah bahasa visual pada posisi utama.
Saya rasa pandangan itu yang mendasari sikap kritis Yince ketika menelusuri kaligrafi dan seni lukis Tiongkok, dan, membuat ia meloncat ke seni lukis Barat. Lepas dari kebenaran padangan ini dalam konteks estetik seni lukis Tiongkok, pandangan ini berbuah melalui lukisan-lukisan Yince. Pandangan ini bisa menunjukkan kenyataan yang tidak pernah diperhatikan yaitu, kepekaan artistik dalam mengolah bahasa visual tidak dipengaruhi bingkai-bingkai estetik yang berbeda. Inilah,”yun artified.”